TUBAN, IP – Video Ketua Umum Kumpulan Penghimpun Organ Rakyat Indonesia (KPORI) yang tayang di TikTok dan ramai jadi pembicaraan soal dirinya mengatakan bahwa 12 orang yang diamankan Polres Tuban adalah anggota KPORI.
Menurut Margoyuwono, Ketua Umum KPORI mengatakan bahwa pihak Polres tidak mau mengakui jika ke 12 orang yang telah diamankan tersebut adalah anggota KPORI meski dirinya telah mengatakan bahwa anggotanya dibekali surat tugas resmi.
“Anggota KPORI dibekali surat tugas dalam bertindak. Namun Polres Tuban tidak mau mengakui kalau ke 12 orang tersebut anggota KPORI,” ujar Margoyuwono melalui percakapan jarak jauh.
Margoyuwono juga menerangkan bahwa berdasarkan surat tugas yang diberikannya, tim KPRI Jawa Timur melakukan investigasi adanya dugaan 180 lokasi tambang ilegal yang beroperasi di Tuban.
Dalam surat tugas tersebut, kata Pak Margo sapaan akrab Margoyuwono dalam menjalankan tugasnya KPORI telah berkoordinasi dengan Presiden RI, Kapolri, Jaksa Agung, Mahkamah Agung, dan DPRI RI.
“Tim KPORI Jawa Timur mengunjungi Kantor ESDM untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai perizinan tambang yang diduga illegal yang merajalela di Tuban tanpa adanya tindakan hukum dari Polres Tuban,” terangnya.
Lalu apa isi surat tugas KPORI yang diberikan kepada anggotanya?
Berikut isi surat tugas yang diterima redaksi:
SURAT TUGAS
Nomor: ST-12/02/KPORI/2024
Menimbang:
1. Pentingnya sosialisasi terkait belum dibentuknya Lembaga MPR & DPR berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, mengharuskan diadakannya Sidang Istimewa MPR yang ada saat ini terkait Undang-Undang Dasar sebagai solusi untuk perbaikan aturan.
2. Diperlukannya biaya untuk terjadinya Sidang Istimewa.
3. Diperlukan dukungan kegiatan dari semua pihak.
4. Pejabat yang arogan dan bebal.
5. Aparatur Sipil Negara dan Aparat Penegak Hukum tidak sah, bekerja secara melawan hukum akibat digunakannya UUD 1945 Palsu.
6. Komisi III DPR RI tidak dapat menunjukkan Legalitas Anggota DPR RI.
7. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
8. Sifat Hukum mengatur dan memaksa.
9. Sistem Hukum di Indonesia.
Mengingat:
1. UUD 1945.
2. Adanya UUD 1945 Palsu yang dijadikan acuan dalam pembuatan Undang-Undang.
3. Hirarki Hukum, Asas Legalitas dan Konsederansi.
4. Surat Presiden Nomor B-3106/Kemensetneg/D-3/SR.00/06/2015.
5. Surat MK RI Nomor 1378/HP.00.00/06/2017.
6. Surat MA RI Nomor W11.U12/HK.01.03/I/202.
7. Surat Kapolri Nomor B-5253/WAS/VIII/2017/Bareskrim.
8. Surat Sekjen MPR Nomor B-3776/HM.01/B-III/setjenMPR/12/2015.
9. Surat Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor B/17068/HK.10/10/2022.
10. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 220/128/Polpum.
11. Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Nomor 01-00-00/066/III/2020
12. Surat KPORI Nomor SP-073.P/KPORI/XII/2023.
13. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Memerintahkan
Kepada:
1. Nata Diamond Nik: 3515071501020001 T/L: Surabaya, 15-01-2002
2. Mislan Nik: 3516013001790001 T/L: Mojokerto, 30-01-1979
3. Basori Nik: 3524160302830002 T/L: Lamongan, 20-03-1985
4. Dwi Junaedi Nik: 3515082306860003 T/L: Sidoarjo, 23-06-1986
5. Abd Ghofur Nik: 3525022312910001 T/L: Gresik, 23-12-1991
Untuk:
1. Meminta kompensasi para pejabat dan meminta kontribusi semua pihak.
2. Melakukan tindakan yang dianggap perlu (intimidasi, pembakaran, pengrusakan atau hal lainnya) sebagai pembuktian hukum tidak dapat diterapkan sesuai aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menghadapi pejabat pemerintah maupun swasta yang arogan dan bebal tidak kooperatif bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Surat Tugas ini dipergunakan sebagaimana mestinya dan untuk alas an tertentu dapat dicabut sewaktu-waktu.
Dikeluarkan di:
Bogor
Tanggal:
5 Februari 2024
Ketua Umum KPORI
Margoyuwono
Kementarian ESDM, lanjut Pak Margo, memberikan saran kepada KPORI untuk melanjutkan investigasi guna menemukan “benang merah” terkait beroperasinya tambang illegal.
Diketahui, pada 7 Agustus 2027 sekitar pukul 10.49 wib, tim KPORI melakukan penyegelan terhadap beberapa tambang yang beroperasi secara ilegal. Mereka menilai bahwa aktifitas tambang tersebut telah merugikan Negara, merusak ekosistem dan mencemari lingkungan di Tuban. Atas hal tersebut, menurut Pak Margo, KPORI pun menuntut kontribusi sebesar Rp200 juta dari pihak pemilik tambang illegal untuk biaya menyuarakan perbaikan aturan terkait UUD 1945 yang diamandeman dan telah merusak tatanan, peraturan dan perundang-undangan, berbangsa dan bernegara, serta untuk memfasilitasi terselenggaranya siding istimewa MPR RI. Namun permintaan tersebut ditolak oleh pihak pemilik tambang.
Informasi yang didapat redaksi, setelah penyegelan tambang diduga illegal, tim KPORI berkumpul di kediaman Ketua KPRI wilayah Tuban, Subiyanto. Pada malam harinya, pemilik tambang bernama Nursam bersama seorang pengawalnya mendatangi kediaman Subiyanto pada pukul 19.00 wib.
“Mereka mencoba menegosiasikan kontribusi yang diminta oleh KPORI dengan menyerahkan sejumlah uang tunau yang tidak diketahui nominalnya. Namun, Subiyanto menolak uang tersebut dan memutuskan untuk melanjutkan kasus ini ke Pemerintah Pusat dan Penyerahkan ke Kejaksaan,” terang Pak Margo.
Tak lama setelah negosiasi tidak berhasil, Unit Jatanras Polres Tuban tiba di kediaman Subiyanto dan langsung memborgol semua anggota KPORI tanpa bertanya dan langsung dibawa ke Mapolres Tuban guna pemeriksaan lebih lanjut.
Proses Hukum dan Tuduhan Makar
Keesokan harinya, pihak pemilik tambang yang diduga ilegal tersebut juga dimintai keterangan oleh kepolisian, namun mereka dipulangkan setelah pemeriksaan. Padahal itu sudah jelas tambang ilegal tapi malah dibiarkan. Sebaliknya, dari hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP), 12 anggota KPORI ditetapkan sebagai tersangka tanpa ada konfirmasi lebih lanjut kepada Ketua Umum KPORI, Margoyuwono.
“Nomor HP ketua umum dan admin KPORI Pusat tertera di surat tugas, namun pihak Polres Tuban tidak mau menghubungi dan konfirmasi terlebih dahulu, Pihak kepolisian bahkan menyatakan bahwa surat tugas yang dibawa oleh tim KPORI adalah palsu dan tidak berdasar hukum, meskipun surat tugas tersebut telah jelas mencantumkan nomor SKT dan Nomor dari Presiden, Kapolri, DPR RI, MK, MA, dan petinggi lainnya,” terang Pak Margo.
Lebih mengkhawatirkan lagi, lanjut Pak Margo, kegiatan yang dilakukan oleh KPORI ini dituduh sebagai upaya makar, terorisme, dan radikalisme. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa ada skenario yang lebih besar di balik kasus ini.
Kontroversi dalam Konferensi Pers
Dalam konferensi pers yang diadakan oleh Polres Tuban, barang bukti (BB) yang ditunjukkan berupa dua bendel uang. Satu bendel terikat dengan karet gelang dan satu lagi dengan logo bank, dengan total nominal yang disebut-sebut sebesar Rp20 juta yang dikatakan kepada media oleh Kapolres Tuban AKBP Oscar Syamsudin saat konferensi pers. KPORI menolak klaim ini dan menyebutnya sebagai “rekayasa” “HOAX” karena menurut mereka, fakta di lapangan menunjukkan bahwa uang tersebut sebenarnya adalah setengah bendel uang yang tidak diketahui nominalnya, yang telah mereka tolak untuk diterima dan memilih berlanjut ke pusat dan mengarahkan ke Kejaksaan.
Merespons situasi yang semakin pelik, Ketua Umum KPORI, Margoyuwono dua kali mendatangi Polres Tuban dan bertemu dengan Kasatreskrim AKP Riyanto (KBO) untuk menunjukkan keabsahan surat tugas yang diberikan kepada timnya selaku penanggung jawab penuh terhadap anggotanya, dan surat tugas tersebut sudah mengetahui semua pihak, Namun, pihak (KBO) tetap bersikeras tidak mengakui keaslian surat tugas tersebut.
Menurut Margoyuwono, kegiatan penyegelan tambang ini dilakukan sebagai bagian dari upaya skenario untuk mengungkap benang merah siapa saja pihak yang terlibat dalam operasi tambang ilegal di Tuban, dan mencurigai dugaan adanya keterlibatan dari Polres Tuban sendiri.
Dalam pertemuan tersebut, AKP Riyanto sempat menyatakan bahwa izin tambang yang disegel tersebut masih dalam proses, yang menimbulkan tanda tanya besar mengapa tambang tersebut bisa tetap beroperasi dalam waktu yang lama.
Kasus penangkapan dan penahanan anggota KPORI oleh Polres Tuban ini menimbulkan banyak pertanyaan dan kontroversi. Sementara KPORI berupaya untuk mengungkap operasi tambang ilegal yang merusak lingkungan, mereka justru menghadapi tuduhan serius dari pihak kepolisian. Dengan adanya dugaan rekayasa dalam konferensi pers dan keengganan pihak kepolisian untuk mengakui surat tugas KPORI, kasus ini kini menjadi pusat perhatian publik. Apakah ini upaya untuk mengungkap kebenaran, ataukah ada kekuatan lain yang bermain di balik layar?. (tim)